Sejarah Pengembangan Islam Di Kubuang Tigobaleh
Sejarah Pengembangan Islam di Kubuang Tigobaleh oleh Syekh Imam Marajo
Beberapa waktu lalu Padang Ekspres mempersembahkan rubrik religi
sejarah pengembangan Islam di Solok pada ke 16-17 M oleh Syekh Angku
Balinduang asal Nagari Talang, Kabupaten Solok, dimasa kejayaannya
beliau juga dikenal sebagai salah-satu orang keramat yang memiliki
banyak keistimewaan. Selain mengembangkan Islam, beliau mampu menghalau
bala dengan berlari dan berkuda diatas padi, memiliki suara merdu saat
mengumandangkan adzan. Sejarah ini hingga sekarang melegenda secara
turun-temurun ditengah-tengah masyarakat Talang, makam Angku Balinduang
dianggap sebagai Tampat (makam) keramat.
Kali ini kami mencoba mengajak anda mengintip sejarah religi di
Nagari Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. tentang pengembaraan
seorang mursyid Syekh Imam Marajo dalam mengembangkan Islam di luhak
termuda Kubuang Tigobaleh (Solok Salayo, Guguak si Jawi-jawi, Gaung dan
Panyakalan, Cupak dan Gantung Ciri, Sirukam, Supayang, Kinari, Muaro
Paneh dan Sariek Alahan Tigo), Talang Talago Dadok, Sirukam Saok Laweh
dan daerah lainnya. Pengembaraan yang cukup berliku, penuh tantangan dan
hambatan. Untuk mengembangkan Islam, Syekh Imam Marajo di setiap sudut
perkampungan di Solok bangun Surau sebagai sarana ibadah, ia bisa
terbang ke Aceh dan Mekkah dengan menggunakan tikar sholat. Memiliki
banyak murid yang tersebar hingga ke berbagai pelosok, menganut tarekat
Satariyah.
Tokoh Ulama Nagari Gauang, Aditiawarman Dt. Kayo, mengatakan, riwayat
Imam Marajo dulu pernah disepakati dalam sebuah pertemuan Ulama Sumatra
Barat sekitar 42 tahun silam, lahir di Gauang Batu Tagak tahun 1490
dengan nama Marah Husin Bin Abdul Musahar. Selama belasan tahun merantau
ke Pariaman, dan bersama Syekh Burhanuddin belajar agama ke Abdul Rauf
di Aceh dan ke Mekkah.
Imam Marajo kembali ke Gauang sekitar tahun 1531, kebetulan saat
beliau datang warga di daerahnya masih menganut animisme, menyembah
roh-roh halus, mempercayai tempat-tempat sakti sebagai pemberi kekuatan.
Kemana pergi selalu mengenakan jubah putih dan sorban, kopiah berwarna
merah, dan membawa sebuah tongkat. Awalnya banyak pertentangan muncul
dari berbagai kalangan, terutama kaum adat yang menganggap aliran Imam
Marajo dapat merusak tradisi para leluhur.
Namun berkat sabar menghadapi segala hambatan dan rintangan, sembari perlahan-lahan memberikan pemahaman bahwa Islam itu agama yang sempurna, Imam Marajo akhirnya menjadi guru.
System pergerakan yang dilakukannya tak jauh berbeda dengan guru
besar Syekh Burhanuddin, sehingga setelah berhasil menyebarkan Islam di
Gauang, beliau pun mendirikan sebuah Surau, selanjutnya dijadikan Masjid
Gauang. Menurut riwayat, tonggak ambacu (tiang utama) Masjid Gauang
dahulunya hanya didirikan seorang diri oleh Imam Marajo dengan
menggunakan sehelai akar kayu dari hutan, setelah tiga masyarakat nagari
(Gauang, Panyakalan, Saok Laweh) menyatakan angkat tangan untuk
melakukannya. Sampai sekarang tonggak tuo tersebut masih terlihat
berdiri kokoh menyangga bangunan Masjid Gauang, dan menjadi saksi bisu
atas sejarah Imam Marajo.
Menurut Aditiawarman Datuk Kayo, Imam Marajo memiliki tongkat yang
pada sewaktu-waktu bila dihempaskan ke tanah dapat mengeluarkan air, hal
ini dibuktikan dengan sumber mata air di sebuah kolam dekat Masjid Raya
konon dahulunya terpancar dari tancapan tongkat beliau. Kala itu
masyarakat kesulitan mencari air untuk berwuduk, lantas Imam Marajo
menancapkan tongkatnya ke tanah, karena izin Allah SWT semuanya tak ada
yang mustahil.
Konon Imam Marajo pernah memelihara ikan laut jenis bada maco di
kolamnya, sehingga masyarakat pun takjub. Pada sewaktu-waktu bada maco
itu akan bisa saja kembali muncul di kolam beliau, dan fenomena itu
dapat dilihat oleh siapa saja. Semua kesaktian dibuktikan Imam Marajo
tak lain demi meningkatkan keimanan umat pada Allah SWT, sesungguhnya
bagi Allah SWT tak ada yang mustahil. Bukan untuk membanggakan diri bagi
beliau,†Ujar Aditiawarman.
Imam Marajo juga disebut-disebut bisa terbang ke Mekah dengan
sajadah, serta pernah berkelahi dengan harimau. Harimau itu kemudian
dipukul dengan tongkat dan akhirnya menjadi manusia. Manusia jelmaan
harimau itu kemudian diislamkan, dan menjadi murid beliau. Imam Marajo
juga diyakini memiliki kekuatan lebih, sehingga mampu mengangkut kayu
dalam jumlah besar dari hutan untuk material pembangun masjid di
berbagai daerah. Sebagaimana Masjid Lubuk Sikarah Kota Solok sekarang,
menurut sejarah proses pembangunannya tak terlepas berkat bantuan Imam
Marajo.
Setelah mengembangkan Islam di Nagari Gauang dan sejumlah nagari
tetangga lainnya, beliau juga akhirnya berhasil mengislamkan Kubung Tigo
Baleh sekitar tahun 1545. Jumlah pengikutnya mencapai ribuan orang,
diantaranya juga ada dari luar Solok seperti Sijunjung, Jambi, dan Riau.
Pusat pengembangan Islam waktu itu bertempat di Nagari Gauang, berbagai
kegiatan keagamaan pun kian semarak hampir diseluruh penjuru. Seluruh
surau dan Masjid aktif, di bulan-bulan besar islam dilaksanakan rutual
keagamaan, sebagaimana di Minangkabau berfalsafah ˜adat basandi syara,
syara basandi kitabllahâ.
Khususnya Di hari maulid nabi Muhammad SAW, masyarakat menggelar
tardisi mauluik dengan kitab barazanzi sembari diiringi rebana, rayo
tampek (berziarah kubur) selama sepekan penuh pasca Hari Raya Idul Fitri
yang diikuti seluruh warga, tolak bala dimalam hari dengan mengibarkan
alam-alam (bendera putih bertuliskan tulisan arab), baratik dan
berzikir, perkauran massal menjelang turun ke sawah, serta berbagai
ritual lainnya.
Imam Marajo memiliki sejumlah murid terkenal antara lain, Syeh
Muchsin, Pakiah Majo Lelo. Syech Kukut dan lain sebagainya. Imam Marajo
meninggal dunia dalam usia 200 tahun dan dimakamkan di Balai Tangah,
Jorong Bansa, Nagari Gauang, Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.
Komplek pemakaman dipugar dengan bagonjong, persinya dibagian pusara dipasangkan kelambu dari kain putih sebagai simbol kesucian. Tiap-tiap setahun sekali, makam Syekh Imam Marajo dijadikan tempat Bersafa kecil sebelum bersafa besar ke Makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman.
Kegiatan Bersafa disemarakkan juga dengan selawat dulang, nyanyian arab diiringi musik rebana. Begitupun tempat berkaul bagi anak-cucu sekarang atas berbagai permohonan pada Allah SWT.
Walinagari Gauang, Adinar Pakiah Marajo menyebutkan, kemampuan Imam
Marajo memang sulit diterima dengan logika, namun, riwayat itu dahulu
sudah disepakati bersama para ulama. Basafa dilaksanakan sebagai bentuk
penghargaan atas jasa Imam Marajo dalam mengembangkan agama Islam di
Kabupaten Solok, sementara berkaul dijadikan tradisi sejak dahulunya.
Tak heran bila agama sampai sekarang cukup kental di Gauang, begitupun
adat dan istiadatnya, sebab di bumi Gauang tersimpan sejarah religi yang
tak ternilai.
(Yulicef Anthony)
http://thewestcoast.wordpress.com/2011/09/01/sejarah-pengembangan-islam-di-kubuang-tigobaleh-solok-selatan/
0 komentar:
Posting Komentar