Translate

SALAYO ( KUBUANG TIGO BALEH )

Daerah Solok dalam Tambo Minangkabau dikenal dengan nama Kubuang Tigo Baleh yang merupakan bagian dari Luhak Tanah Datar. Daerah ini tidak berstatus “Rantau” (daerah yang membayar upeti), malah mempunyai Rantau dan Pesisirnya sendiri.

Daerah Rantaunya adalah Alam Surambi Sungai Pagu (Solok Selatan) dan pesisirnya adalah daerah Padang Luar Kota dan sebagian daerah Pesisir Selatan.

Dalam pepatah adat disebut, Aso Solok duo Salayo, ba-Padang ba-Aia Haji, Pauah Limo Pauah Sambilan, Lubuak Bagaluang Nan Duo Puluah. 

Dari naskah Tjuraian Asal Mula Negeri Solok dan Salajo, diperoleh keterangan bahwa nama Kubuang Tigo Baleh berasal dari datangnya 73 orang dari daerah Kubuang Agam ke daerah yang sekarang disebut Kabupaten dan Kota Solok. 

Tiga belas orang di antaranya tinggal di Solok dan Selayo serta mendirikan Nagari – nagari  di sekitarnya, sedangkan 60 orang lainnya meneruskan perjalanan ke daerah Lembah Gumanti, Surian, dan Muara Labuh.
Ketiga belas orang ini menjadi asal nama Kubuang Tigo Baleh. Mereka pula yang mendirikan Nagari-nagari di sekeliling Nagari Solok dan Selayo. Kedua nagari ini disebut “Payung Sekaki” bagi nagari-nagari di sekitarnya.

Tiga belas Nagari yang menjadi inti daerah Kubuang Tigo Baleh, yang merupakan cikal bakal Kabupaten Solok, Nagari-nagari itu , adalah Solok, Selayo, Gantungciri, Panyakalan, Cupak, Muaropaneh, Talang, Saoklaweh, Guguak, Koto Anau, Bukiksileh, Dilam, dan Taruangtaruang. 

Beberapa nagari lainnya yang merupakan pemekaran dari ketiga belas nagari yang disebut di atas adalah Tanjuangbingkuang, Kotobaru, Kotohilalang, Gauang, Bukiktandang, Kinari, Parambahan, Sungaijaniah, Limaulunggo, Batubajanjang, Kotolaweh (Kec. Lembangjaya), Batubanyak, Kampuang Batu Dalam, Pianggu, Indudur, Sungai Durian, Sungai Jambua, Guguak Sarai, Siaro-aro, Kotolaweh (Kec. IX Koto Sungai Lasi), dan Bukit Bais.

Nagari Guguak yang sekarang merupakan bagian dari Kecamatan Gunung Talang memekarkan diri menjadi tiga nagari, yaitu Kotogadang, kotogaek, dan Jawi-jawi. 

Beberapa nagari lainnya kemudian juga bergabung ke dalam konfederasi Kubuang Tigo Baleh, yaitu, Batang Barus, Aia Batumbuak, Simpang Tanjuang Nan Ampek.

Nagari-nagari yang sekarang tergabung ke dalam Kecamatan Payung Sekaki ;  Danau Kembar, Lembah Gumanti, Pantai Cermin, Tigo Lurah, dan Hiliran Gumanti. 

Dua kecamatan lainnya, Sungai Pagu dan Sangir yang sekarang menjadi Kabupaten Solok Selatan juga mempunyai kaitan dengan Kubuang Tigo Baleh karena sebagian penduduk berasal dari daerah ini.
Meskipun jumlah nagari yang tergabung di dalamnya sudah lebih dari tiga belas nagari, tetapi namanya tetap Kubuang Tigo Baleh. 

Sementara itu nagari-nagari yang terletak di bagian utara Kabupaten Solok, yang tergabung dalam kecamatan X Koto Singkarak (beserta daerah pemekarannya Kecamatan Junjuang Siriah) dan Kecamatan X Koto Diateh tidak disebut dalam tambo ataupun data lainnya, sebagai bagian dari Kubuang Tigo Baleh.
Daerah Kubung Tigo Baleh memiliki balai adat yang dipergunakan bersama untuk berkonsultasi antara nagari – nagari di kawasan Kubuang Tigo Baleh. Balai adat ini terletak di Nagari Selayo dengan nama Balai Nan Panjang Kubuang Tigo Baleh.

Balai adat Selayo – merupakan pusat untuk mencari keadilan dalam hal sengketa adat. Dengan demikina menjadi milik Kubuang Tigo Baleh secara adat. Nagari Selayo sekaligus memiliki kehormatan sebagai tempat penyelesaian sengketa adat.  Apbila ada perkara adat yang tidak mampu diselesaikan oleh masing masing Nagari di Kubuang Tigo Baleh ini, maka akan diselesaikan di Kerapatan Adat Nagari Selayo.
Praktis, Selayo diasumsikan sebagai ‘bapak’-nya Kubung Tigo Baleh. Konsekuensinya,  Badai adat Selayo – sebagai lembaga – yang dianggap bertuah ini wajib “manyalasaikan nan kusuik, manjanihkan nan karuah” , ketika pada tingkatan Nagari-nagari diwilayah ini tidak mampu memutus suatu perkara.
Kisah Heroik Makam dt. Parpatih nan Sabatang 

Sisi lain yang cukup melegenda di Nagari Selayo adalah keberadaan makam Dt. Parpatiah nan Sabatang yang terletak di Munggu Tanah, Jorong Batu Palano, Nagari Selayo dan Kayu Gadang yang konon dulu berasal dari tongkatnya Dt.Parpatih nan Sabatang yang ditancapkan di Aie Manjulua, di Bawah Jao.  Begitu juga dengan kuburan samaran Dt. Parpatih nan Sabatang berada di kawasan yang sama.

Seperti yang dikisahkan melalui suatu wawancara penulis (2001) dengan Djanatin Dt. Putiah semasa hidupnya (kini sudah almarhum), juga ditulis (almarhum) Soewardi Idris dalam bukunya Selayo (1992) yang didasarkan dari naskah Djanatin Dt.Putiah, seorang tokoh adat Nagari Selayo dan juga menjadi Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok.
Naskah Djanatin Dt. Putiah, disarikan atas keterangan Alm. Muhammad Saat Dt. Rajo Timbua yang masa hidupnya adalah seorang tokokoh adat dan pejuang kemerdekaan dengan memperoleh penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan.

Konon ceritanya – sekembalinya Dt. Parpatih nan Sabatang dari Jawa membawa dua orang teman, masing-masing ahli pertanian bernama ” Tumangung “  dan seorang lagi Pangeran Rajo Bantan.
Dt. Parpatih nan Sabatang menetap di kediaman Dt. Gadang (Penghulu Suku Kampai). Kemudian dia mengangkat dua orang pengawal, masing-masing Dt. Baniang Bapawik dan Dt.Baramban Duri Rukam, keduanya dari Suku Chaniago.

Dari Tanah jawa, Dt. Parpatih membawa sebuah tongkat. Tongkat dibawa dari tanah Jawa. Banyak orang menyebutnya sebagai tongkat kayu Jao. Sebelum menuju negeri Alahan Panjang, Dt. Parpatih nan Sabatng berhenti sesaat di Aie Manjulua yang persis diarea perbatasan antara Nagari Selayo dengan Nagari Solok.
Kepada para ninik mamak, Datuk Perpatih nan Sabatang berucap :

”Hai seluruh ninik mamak Nagari Solok dan Nagari Selayo. Dimana tanah dipijak, dirikanlah Nagari beserta adatnya. Tanah lupak jadikan sawah, tanah keras jadikan ladang, gurun tandas jadikan padang halauan (gembalaan).”

Setelah memberikan pitua, maka Dt. Parpatih nan sabatang menancapkan tongkatnya di perbatasan kedua nagari tersebut dan konon kabarnya hingga sekarang masyarakat Nagari Selayo pada umumnya menyakini bahwa pohon besar yang berdiameter lebih kurang 2 meter dan bertinggi sekitar 70 meter tersebut berasal dari tongkat Dt. Parpatih nan Sabatang. Sampai sekarang kawasan itu bernama BawahJao.

Suatu ketika Dt. Parpatih nan Sabatng terbaring sakit dikediaman Dt. Gadang, maka begiliranlah para ninik mamak di Kubuang Tigo Baleh menjenguk dan menunggui. Pada akhirnya, mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, Tuhan maka berkehendak, akhirnya Dt. Parpatih nan Sabatang meningggal dunia.
Tersebarlah kabar kesentero wilayah Kubuang Tigo Baleh atas wafatnya Dt. Parpatih nan Sabatang hingga sampai ke daerah Silungkang.  Masyarakat Silungkang pun merasa memiliki sosok Dt. Parpatih nan Sabatang, berhasrat untuk membawa jenazah Dt. Parpatiah nan Sabatang ke negerinya. Masyarakat Selayo jelas berkeberatan jika jenazah dibawa oleh orang Silungkang ini.

Upaya yang dilakukan oleh Masyarakat Selayo ialah dengan mengarak jasad Dt.Parpatih nan Sabatang ke Munggu Tanah, arah barat pusat Nagari Selayo. 

Kemudian masyarakat Nagari Solok,  mengusulkan untuk membuat kuburan samaran yang diisi dengan sebatang pohon pisang di atas sebuah munggu di tengah sawah – yang letaknya tidak jauh dari tempat tumbuhnya kayu Jao. Jelas sekali kuburan yang dibuat ini – hanyalah sebagai upaya mengakali dan menghalangi keinginan orang Silungkang, yang berkeinginan untuk mengambil jenazah Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Negeri Selalyo.

Sesampainya rombongan masyarakat  Silungkang di negeri Selayo, maka disambutlah kedatangan rombongan ini oleh orang Nagari Solok dan Nagari Selayo dengan hidangan makanan.  Setelah itu Masyarakat Silungkang ditawari -  untuk melihat kuburan Dt. Parpatih nan Sabatang.
Disinyalir dari ide rencana kedua Orang nagari ( SOLOK dan SELAYO),  ini lahirlah sebuah pituah yang berbunyi :

“Aka Solok, Budi Selayo.”
Maksudnya ialah ide dan rencana datangnya  dari orang Solok – namun yang menyambut dengan keramah tamahan serta menyediakan dan melayani makan adalah orang Selayo. Orang Selayo dianggap memiliki budi yang baik.

Konon ceritanya, pihak Orang Silungkang ternyata tetap bersikeras untuk membawa jenazah Dt.Parpatih nan Sabatang ini  ke negerinya. Mereka berupaya menggali kuburan samaran Datuk Pertpatih  Nan Sebatang ini. Betapa terperanjatnya orang Silungkang melihat kenyataan, ketika kain kafan dibuka ternyata didalamnya hanya sebatang pohon pisang. Mereka berkeyakinan bahwa Dt. Parpatih nan sabatang – yang dipujanya ini adalah seorang yang keramat.  Sehingga akhirnya mereka tidak berniat untuk membawanya ke Negeri Silungkang.

Konon dari peristiwa ini lahir ungkapan ”angguak anggak geleang amuah, tunjuak luruih kaliankiang bakaik”. Maksudnya,  orang Selayo menunjukkan arah kuburan samaran – tetapi mereka membelakangi daerah munggu tanah tempat kuburan asli Dt. Parpatih nan Sabatang.
Dari cerita masyarakat sekitar yang kemudian menjadi melegenda, konon dulunya, makam Dt. Parpatih nan Sabtang menunjukkan gejala aneh yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Bila menjelang akan terjadinya musibah melanda Negeri sekitarnya, maka ada bunyi yang menggelegar atau manggaga, berasal dari makam tersebut.

Anehnya, bunyi gelegar itu terus berlanjut hingga terdengar di kuburan Parak Tingga, pekuburan Lubuk Kilangan dan poekuburan di Galanggang Tangah (semua dalam kenagaraian Selayo). Katanya, bunyi gelegar itu terdengar beberapa hari sebelum terjadinya bencana gempa maha dasyat tahun 1926. Banjir besar tahun 1927. Masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1943 serta menjelang masuknya Sekutu ke Indonesia. Yang terakhir masyarakat setempat mendengar – saat saat menjelang meletusnya peristiwa G – 30 S/ PKI pada tahun 1965.

Dulunya -  makam Dt.Parpatih nan Sabatang dianggap keramat dan sering dijadikan tempat berkaul bagi masyarakat sekitarnya seperti saat turun ke sawah, menjelang panen, minta hujan, dan lainnya. Namun tradisi itu mulai hilang sejak berkembangnya ajaran Islam terutama disebarluaskan oleh Muhammadyah.
Makam itu kemduian direhab dengan model atap bagonjong pada tahun 1993 – berkat bantuan pemerintah dan swadaya masyarakat. Makam Datuk Perpantih Nan Sabatang ini – hingga kini terlihat sangat terawat yang dijaga oleh seorang juru kunci. Selain makam Dt. Parpatih nan Sabatang disampingya juga ada pusara kedua pembantunya yaitu Tumangguang dan Pangeran dari Bantan.

Pengakuan  Sebagai Makam Dt. Parpatih nan Sabatang
Seperti yang dituturkan oleh salah seorang petinggi adat Nagari Selayo ” Fajri Hamzah gelar Malin Batuah” yang notabene adalah mantan Kepala Desa Selayo Ateh era tahun 1990-an – menyebutkan bahwa, yang pernah berkunjung ke makam Dt. Parpatih nan Sabatang adalah Prof. Peggy R. Sanday dari Kalifornia (Amerika Serikat) didampingi oleh dua orang staf ahli adat dari Batusangkar.
“Diakui oleh kedua ahli adat dari Batusangkat tersebut bahwa memang di Selayo inilah dikuburkannya Dt. Parpatih nan Sabatang, lantaran di Limo Kaum tidak ditemui adanya makam Dt. Parpatih nan Sabatang,” ungkap Malin Batuah.

Diakui Malin Batuah, pernyataan itu didukung dari tulisan alm. Anas Navis dalam tulisannya berjudul “Makam Itu Makam Datuak Parpatih Nan Sabatang” yang dimuat diharian Singgalang (1/9/1991).
Kebenaran tulisan AA Navis itu berdasarkan kenyataan bahwa munculmy Makam Dt. Parpatih nan Sabatang dalam Tambo Minangkabau di Perpustakaan Nasional yang dipaparkan dalam beberapa bahasa.
Tulisan ini lebih kepada informasi semata, sejatinya kebenaran sesungguhnya tentang makam Dt.Parpatih nan Sabatang itu berada pada yang “ahli” nya.  Wallahu alam.

Sumber :
– Selayo (1992) karya (almarhum) Soewardi Idris
- Mengutip tulisan Witrianto
- Wawancara penulis artikel ini dengan Almarhum Djanatin Dt.Putiah (2001)
- Wawancara dengan Fajri Hamzah Malin Batuah
http://bundokanduang.wordpress.com/2010/12/13/kubuang-tigo-baleh/

Nagari Koto Anau

KOTO ANAU  ( NAGARI ADIK DI KUBUANG TIGO BALEH )

Gunung Talang 

Nagari Koto Anau merupakan bagian dari konfederasi Kubuang Tigo Baleh yang secara adat disebut sebagai “Nagari Adik”. Asal-usul nama Nagari Koto Anau berasal dari kata koto anam yang berarti enam buah koto (kampung) yaitu “Anam Koto di Dalam” dalam wilayah Kerajaan Koto Anau masa lalu yang meliputi Tanah Sirah, Koto Gadang, Batu Banyak, Koto Laweh, Limau Lunggo, dan Batu Bajanjang. Dalam perkembangan sejarahnya, setelah Kerajaan Koto Anau tidak eksis lagi, Batu Banyak, Koto Laweh, Limau Lunggo, dan Batu Bajanjang kemudian memisahkan diri dan membentuk nagari sendiri. Hanya Tanah Sirah dan Koto Gadang yang masih bertahan dan tetap menggunakan nama Koto Anau untuk menyebut nama nagarinya. Nama Nagari Koto Anau kadang-kadang juga disebut Koto Gadang karena pusat nagarinya berada di Koto Gadang

Asal-usul nama nagari koto Anau menurut versi lain berasal dari nama batang enau (aren) yang dahulu terdapat di tengah koto. Pohon itu besar dan dapat dijadikan sebagai tempat berlindung bagi masyarakat koto yang enam. Pohon tersebut dari akar sampai daunnya dapat dipergunakan, sehingga orang Koto Gadang mengambil nama pohon ini untuk menamai nama gabungan dari enam koto tersebut.

Nagari Koto Anau terletak di daerah Kubuang Tigo Baleh yang setelah Indonesia merdeka merupakan bagian dari Kabupaten Solok. Bekas wilayah Kerajaan Koto Anau kemudian disebut Kecamatan Lembang Jaya yang wilayahnya di samping meliputi “Anam Koto di Dalam” juga mencakup “Ampek Koto Kapak Redai” yang merupakan bekas Kerajaan Camin Taruih dan Kerajaan Camin Talayang yang kemudian menjadi wilayah Gunung Selasih IV-Koto yang meliputi Bukik Sileh, Salayo Tanang, Kampung Batu Dalam, dan Simpang Tanjung Nan Ampek. Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek dan Kampung Batu Dalam pada tahun 2002 memisahkan diri dari Kecamatan Lembang Jaya dan membentuk Kecamatan Danau Kembar.
Menurut Abdurrahman, seorang pemangku adat di Koto Anau, penduduk Koto Anau yang mula-mula berasal dari daerah Kerajan Melayu. Pimpinan rombongannya adalah Rajo Kaciak. Rombongan ini kemudian bertemu dengan rombongan yang datang dari Pariangan melalui Guguk. Tidak dapat diketahui waktu yang tepat mengenai kedatangan penduduk yang pertama di Koto Anau.

Dalam konfederasi Kubuang Tigo Baleh, Koto Anau dikenal sebagai “adik”, Guguak sebagai “kakak”, Solok sebagai “mande” (ibu), dan Selayo sebagai “bapak” (sumando). Sebagai ‘mande” Solok memiliki sembilan suku dan sembilan korong, Selayo sebagai ‘bapak” memiliki tiga belas suku dan tiga belas jorong, Guguk sebagai “kakak” memiliki enam suku dan tiga koto, dan Koto Anau sebagai “adik” memiliki tiga suku dan enam koto.

Menurut tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun di Koto Anau, diriwayatkan bahwa rombongan kakak yang datang dari Guguak mengantar rombongan adik untuk mencari daerah tempat pemukiman baru. Dalam perjalanan, mereka beristirahat di sebuah guguak (bukit kecil) untuk berunding mencari kata mufakat. Tempat tersebut kemudian dinamakan “Guguak Bayua” yang berarti guguak tampek baiyo (bukit kecil tempat bermusyawarah), yang terletak Jorong Kandang Jambu sekarang.

Setelah bermusyawarah, rombongan tersebut kemudian meneruskan perjalanan mereka sampai ke daerah yang sekarang bernama “Panta” yang maksudnya tempat mengantarkan rombongan adik. Kemudian dibuatlah pemukiman di Bancah dan Taratak Panai. Rombongan kakak yang datang dari Guguak kemudian kembali ke Guguak.
Setelah penduduk Bancah semakin banyak, disepakatilah untuk memcari daerah baru karena tanah pertanian sudah semakin sempit. Tempat yang dituju adalah daerah yangs ekarang bernama Koto Tingga dan Pakan Kamih. Dari sini pemukiman kemudian meluas ke Tanah Sirah yang disertai dengan pembukaan tanah baru untuk areal perladangan dan persawahan.

Bersamaan dengan itu, beberapa kepala kaum menuju ke daerah Ului. Sebagian di antaranya juga turun ke Bingkuang, langsung ke Pintu Raya, mendaki ke Batu Banyak, dan terus ke Simpang Tanjung Nan Ampek. Beberapa kepala kaum ada juga yang menyebar ke arah Sungai Janiah. Dari sini muncul ungkapan, Koto Nan Anam, Tanah Sirah, Sungainyo Janiah, Limau Lunggo Bajanjang Batu.

Di Nagari Koto Anau hanya terdapat tiga suku, yaitu Melayu, Caniago, dan Tanjuang. Suku Melayu terdiri dari lima korong, yaitu Melayu, Bendang, Madailiang, Panai, dam Sikuaji. Suku Caniago terdiri dari empat korong, yaitu Caniago Korong Laweh, Caniago Sungai Dareh, Caniago Taruk Marunggai, dan Caniago Hilia (Supanjang). Suku Tanjuang terdiri dari empat korong, yaitu Tanjuang, Sikumbang, Payobada, dan Kutianyia.

Ciri khas di Nagari Koto Anau sehubungan dengan pendirian rumah gadang adalah rumah tersebut harus menghadap ke Gunung Talang yang melambangkan bahwa Gunung Talang merupakan tempat yang dihormati oleh masyarakat Koto Anau. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pra-Islam yang menganggap bahwa puncak gunung merupakan tempat bersemayamnya dewa-dewi, sebagaimana Gunung Merapi yang sangat dihormati oleh masyarakat Luhak Tanah Datar.

Hampir semua rumah di Koto Anau memiliki atau dilalui oleh saluran air atau banda. Air ini terutama digunakan untuk mencuci dan berwudhu. Untuk mandi, sebelum memiliki kamar mandi masyarakat biasanya mandi di pincuran yang terdapat di semua surau yang ada di Koto Anau. Untuk memasak, sebelum masyarakat menggunakan air bersih dari mata air yang banyak terdapat di Nagari Koto Anau.

Di tengah-tengah Nagari Koto Anau mengalir Sungai Batang Lembang yang berhulu di Danau Dibawah dan bermuara di Danau Singkarak. Pada tahun 1978, aliran Sungai Batang Lembang yang cukup deras ini dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sebelumnya masyarakat Koto Anau juga telah mengenal listrik, yang digerakkan diesel yang dibeli dengan swadaya masyarakat. Listrik tersebut aktif tahun 1956 sampai tahun 1968.

Nagari Koto Anau memiliki luas wilayah 48 Km2 yang terdiri dari areal persawahan 1.300 Ha, tegalan/ladang 1.550 Ha, perumahan 800 Ha, dan lain-lainnya 1.550 Ha. Berdasarkan letak geografisnya, Nagari Koto Anau sebelah utara berbatasan dengan Nagari Muara Panas (Kecamatan Bukit Sundi), sebelah selatan dengan Nagari Batu Banyak dan Limau Lunggo, sebelah barat dengan Nagari Cupak (Kec. Gunung Talang) dan Sungai Janiah (Kec. Gunung Talang), sebelah timur berbatasan dengan Nagari Parambahan (Kec. Bukit Sundi).

Koto Anau dalam arti adat lama adalah suatu daerah yang wilayahnya meliputi Kecamatan Lembang Jaya dan Danau Kembar sekarang ditambah Sungai Janiah (sekarang bagian dari Kecamatan Gunung Talang). Daerah ini sebelumnya bernama Salasiah Anam Koto, gunungnya bernama Gunung Salasiah (sekarang Gunung Talang), dan di balik Gunung Salasiah terdapat Lubuak Salasiah.

Salasiah Anam Koto kemudian berubah nama menjadi Koto Nan Anam dan dalam perkembangan selanjutnya disebut Koto Anau. Sebelum tahun 1970-an, Koto Anau merupakan penghasil cengkeh yang terbesar di Minangkabau. Hasil bumi ini menyebabkan masyarakat Koto Anau hidup makmur dan berkecukupan sehingga dapat dikatakan merupakan nagari terkaya di Minangkabau pada waktu itu. Kekayaan Koto Anau ini menyebabkan banyak warga dari nagari-nagari di sekitarnya berdatangan ke Koto Anau untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Penyakit “Mati Bujang” dan “Mati Gadis” yang menyerang tanaman cengkeh di Koto Anau pada tahun 1970-an menyebabkan tanaman cengkeh banyak yang mati. Hal ini menyebabkan banyak orang Koto Anau yang kehilangan mata pencaharian sehingga banyak orang Koto Anau yang kemudian pergi merantau ke beberapa kota di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat. Nagari Koto Anau yang pernah jaya dan menjadi nagari terkaya di Minangkabau pada masa lalu berkat cengkeh, sekarang tidak banyak lagi dikenal orang.

Sebagian besar perantau asal Koto Anau ini kemudian memilih profesi sebagai pedagang daging, terutama di Kota Solok, dan Padang. Profesi mereka ini menyebabkan orang Koto Anau di beberapa daerah di Sumatera Barat kemudian dikenal sebagai “tukang bantai” yang maksudnya tentu saja hanya untuk berolok-olok dan bercanda saja.

Generasi muda Sumatera Barat sekarang ini lebih mengenal Koto Anau sebagai nagari asal para pedagang daging yang banyak terdapat di berbagai kota di Sumatera Barat. Pasar Koto Anau yang dahulu merupakan gudang cengkeh terbesar dan sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah di Sumatera Barat, sekarang sudah tidak ada lagi. Bekas pasar tersebut sekarang telah menjadi lokasi gedung SMA Negeri 1 Lembang Jaya.

Witrianto.Dt. Bandaro ( Dosen Fakultas Sastra, Universitas Andalas )
http://kotoanau.blogspot.com/2011/06/koto-anau-nagari-adik-di-kubuang-tigo_13.html

Sejarah Pengembangan Islam Di Kubuang Tigobaleh

Sejarah Pengembangan Islam Di Kubuang Tigobaleh

Sejarah Pengembangan Islam di Kubuang Tigobaleh oleh Syekh Imam Marajo

 Beberapa waktu lalu Padang Ekspres mempersembahkan rubrik religi sejarah pengembangan Islam di Solok pada ke 16-17 M oleh Syekh Angku Balinduang asal Nagari Talang, Kabupaten Solok, dimasa kejayaannya beliau juga dikenal sebagai salah-satu orang keramat yang memiliki banyak keistimewaan. Selain mengembangkan Islam, beliau mampu menghalau bala dengan berlari dan berkuda diatas padi, memiliki suara merdu saat mengumandangkan adzan. Sejarah ini hingga sekarang melegenda secara turun-temurun ditengah-tengah masyarakat Talang, makam Angku Balinduang dianggap sebagai Tampat (makam) keramat.

Kali ini kami mencoba mengajak anda mengintip sejarah religi di Nagari Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. tentang pengembaraan seorang mursyid Syekh Imam Marajo dalam mengembangkan Islam di luhak termuda Kubuang Tigobaleh (Solok Salayo, Guguak si Jawi-jawi, Gaung dan Panyakalan, Cupak dan Gantung Ciri, Sirukam, Supayang, Kinari, Muaro Paneh dan Sariek Alahan Tigo), Talang Talago Dadok, Sirukam Saok Laweh dan daerah lainnya. Pengembaraan yang cukup berliku, penuh tantangan dan hambatan. Untuk mengembangkan Islam, Syekh Imam Marajo di setiap sudut perkampungan di Solok bangun Surau sebagai sarana ibadah, ia bisa terbang ke Aceh dan Mekkah dengan menggunakan tikar sholat. Memiliki banyak murid yang tersebar hingga ke berbagai pelosok, menganut tarekat Satariyah.

Tokoh Ulama Nagari Gauang, Aditiawarman Dt. Kayo, mengatakan, riwayat Imam Marajo dulu pernah disepakati dalam sebuah pertemuan Ulama Sumatra Barat sekitar 42 tahun silam, lahir di Gauang Batu Tagak tahun 1490 dengan nama Marah Husin Bin Abdul Musahar. Selama belasan tahun merantau ke Pariaman, dan bersama Syekh Burhanuddin belajar agama ke Abdul Rauf di Aceh dan ke Mekkah.

Imam Marajo kembali ke Gauang sekitar tahun 1531, kebetulan saat beliau datang warga di daerahnya masih menganut animisme, menyembah roh-roh halus, mempercayai tempat-tempat sakti sebagai pemberi kekuatan. Kemana pergi selalu mengenakan jubah putih dan sorban, kopiah berwarna merah, dan membawa sebuah tongkat. Awalnya banyak pertentangan muncul dari berbagai kalangan, terutama kaum adat yang menganggap aliran Imam Marajo dapat merusak tradisi para leluhur.

Namun berkat sabar menghadapi segala hambatan dan rintangan, sembari perlahan-lahan memberikan pemahaman bahwa Islam itu agama yang sempurna, Imam Marajo akhirnya menjadi guru.

System pergerakan yang dilakukannya tak jauh berbeda dengan guru besar Syekh Burhanuddin, sehingga setelah berhasil menyebarkan Islam di Gauang, beliau pun mendirikan sebuah Surau, selanjutnya dijadikan Masjid Gauang. Menurut riwayat, tonggak ambacu (tiang utama) Masjid Gauang dahulunya hanya didirikan seorang diri oleh Imam Marajo dengan menggunakan sehelai akar kayu dari hutan, setelah tiga masyarakat nagari (Gauang, Panyakalan, Saok Laweh) menyatakan angkat tangan untuk melakukannya. Sampai sekarang tonggak tuo tersebut masih terlihat berdiri kokoh menyangga bangunan Masjid Gauang, dan menjadi saksi bisu atas sejarah Imam Marajo.

Menurut Aditiawarman Datuk Kayo, Imam Marajo memiliki tongkat yang pada sewaktu-waktu bila dihempaskan ke tanah dapat mengeluarkan air, hal ini dibuktikan dengan sumber mata air di sebuah kolam dekat Masjid Raya konon dahulunya terpancar dari tancapan tongkat beliau. Kala itu masyarakat kesulitan mencari air untuk berwuduk, lantas Imam Marajo menancapkan tongkatnya ke tanah, karena izin Allah SWT semuanya tak ada yang mustahil.

Konon Imam Marajo pernah memelihara ikan laut jenis bada maco di kolamnya, sehingga masyarakat pun takjub. Pada sewaktu-waktu bada maco itu akan bisa saja kembali muncul di kolam beliau, dan fenomena itu dapat dilihat oleh siapa saja. Semua kesaktian dibuktikan Imam Marajo tak lain demi meningkatkan keimanan umat pada Allah SWT, sesungguhnya bagi Allah SWT tak ada yang mustahil. Bukan untuk membanggakan diri bagi beliau,†Ujar Aditiawarman.

Imam Marajo juga disebut-disebut bisa terbang ke Mekah dengan sajadah, serta pernah berkelahi dengan harimau. Harimau itu kemudian dipukul dengan tongkat dan akhirnya menjadi manusia. Manusia jelmaan harimau itu kemudian diislamkan, dan menjadi murid beliau. Imam Marajo juga diyakini memiliki kekuatan lebih, sehingga mampu mengangkut kayu dalam jumlah besar dari hutan untuk material pembangun masjid di berbagai daerah. Sebagaimana Masjid Lubuk Sikarah Kota Solok sekarang, menurut sejarah proses pembangunannya tak terlepas berkat bantuan Imam Marajo.

Setelah mengembangkan Islam di Nagari Gauang dan sejumlah nagari tetangga lainnya, beliau juga akhirnya berhasil mengislamkan Kubung Tigo Baleh sekitar tahun 1545. Jumlah pengikutnya mencapai ribuan orang, diantaranya juga ada dari luar Solok seperti Sijunjung, Jambi, dan Riau. Pusat pengembangan Islam waktu itu bertempat di Nagari Gauang, berbagai kegiatan keagamaan pun kian semarak hampir diseluruh penjuru. Seluruh surau dan Masjid aktif, di bulan-bulan besar islam dilaksanakan rutual keagamaan, sebagaimana di Minangkabau berfalsafah ˜adat basandi syara, syara basandi kitabllahâ.

Khususnya Di hari maulid nabi Muhammad SAW, masyarakat menggelar tardisi mauluik dengan kitab barazanzi sembari diiringi rebana, rayo tampek (berziarah kubur) selama sepekan penuh pasca Hari Raya Idul Fitri yang diikuti seluruh warga, tolak bala dimalam hari dengan mengibarkan alam-alam (bendera putih bertuliskan tulisan arab), baratik dan berzikir, perkauran massal menjelang turun ke sawah, serta berbagai ritual lainnya.

Imam Marajo memiliki sejumlah murid terkenal antara lain, Syeh Muchsin, Pakiah Majo Lelo. Syech Kukut dan lain sebagainya. Imam Marajo meninggal dunia dalam usia 200 tahun dan dimakamkan di Balai Tangah, Jorong Bansa, Nagari Gauang, Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.

Komplek pemakaman dipugar dengan bagonjong, persinya dibagian pusara dipasangkan kelambu dari kain putih sebagai simbol kesucian. Tiap-tiap setahun sekali, makam Syekh Imam Marajo dijadikan tempat Bersafa kecil sebelum bersafa besar ke Makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman.

Kegiatan Bersafa disemarakkan juga dengan selawat dulang, nyanyian arab diiringi musik rebana. Begitupun tempat berkaul bagi anak-cucu sekarang atas berbagai permohonan pada Allah SWT.

Walinagari Gauang, Adinar Pakiah Marajo menyebutkan, kemampuan Imam Marajo memang sulit diterima dengan logika, namun, riwayat itu dahulu sudah disepakati bersama para ulama. Basafa dilaksanakan sebagai bentuk penghargaan atas jasa Imam Marajo dalam mengembangkan agama Islam di Kabupaten Solok, sementara berkaul dijadikan tradisi sejak dahulunya. Tak heran bila agama sampai sekarang cukup kental di Gauang, begitupun adat dan istiadatnya, sebab di bumi Gauang tersimpan sejarah religi yang tak ternilai. 

(Yulicef Anthony)
http://thewestcoast.wordpress.com/2011/09/01/sejarah-pengembangan-islam-di-kubuang-tigobaleh-solok-selatan/

Nagari Gaung

Nagari Gaung

Nagari Gauang merupakan salah-satu nagari yang tergabung dalam kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Secara georafis memiliki latar belakang alam yang berbukit, berlembah dan dataran yang umumnya membentang berupa sawah dan gurun. Berpenduduk sekitar 2500 jiwa, mata pencaharian masyarakatnya mayoritas petani, dan sekitar 10 persen diantaranya hidup merantau.

Nagari yang juga tergabung dalam kawasan Kubuang Tigobaleh sebagaimana telah dijelaskan dalam Tambo Alam Minangkabau ini, memiliki cirikhas sendiri dan bahkan terkesan unik. Masyarakatnya hingga sekarang masih memegang teguh nilai-nilai Islam, adat istiadatnya pun terbilang cukup kental. Maka tak jarang pada saat-saat tertentu pelaksanaan berbagai ritual adat dan agama bisa bisa disaksikan di daerah ini, seperti diantaranya tradisi mauluik menggunakan rebana dan kitab baranzanzi, rayo tampek, basimbua ke batu batuduang, batulak bala, serta lain sebagainya.

Gauang terbagi dalam tiga jorong diantaranya jorong Bansa, Gelanggang dan Gando, dengan ibu nagarinya jorong Bansa. Memiliki sebuah Masjid tua bernama Masjid Raya Gauang, didukung 12 surau yang tersebar di setiap penjuru. Sebagai sandaran hidup bagi masyarakat, Gauang memiliki hutan cukup luas yang berbatasan dengan daerah Saok Laweh, Panyakalan, Sei Lasi, Taruang-Taruang, serta hamparan sawah mengandalkan sumber mata air dari hulu hutan dan Bukit Tandang. 

Dalam urusan adat, Gauang berada dalam pengawasan tiga datuak atau Penghulu dari tiga suku (caniago, Supanjang dan Koto), yang dibantu masing-masing Manti, Malin dan Dubalang adat. Memakai keselarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang. Setiap muncul persoalan selalu diupayakan penyelesaiannya di tingkat bawah, namun jika tak tuntas maka dilanjutkan ke sidang adat. Biasanya setiap anak-kemenakan yang terbukti melanggar adat/ hukum adat, dikenai sangsi berupa penyemblihan seekor kambing sebagai wujud permintaan maaf pada masyarakat. Pelaksanaannya digelar secara adat, disertai rutual khusus sebagaimana telah diwariskan nenek moyang mereka terdahulu. Namun ini akan diberlakukan sesuai kesepakatan para tukoh dan pemangku adat, tergantung besar kecilnya masalah yang telah diperbuat.

Dibidang agama, ternyata di nagari ini juga cukup kental, umumnya masyarakat setempat penganut tareqat naqsabandiyah. Di Jorong Bansa terdapat maqam syekh Imam Maharajo, yang mana menurut warga beliau dahulu diyakini sebagai guru besar penyebar Islam pertama kali di kawasan Kubuang Tigobaleh. Lokasi maqam mekuburan Syekh Imam Maharajo dianggap keramat dan sakral, sehingga pada bulan syafar digelar kegiatan basyafa kecil ke lokasi pemakaman tersebut sebelum ke maqam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman.


sumber : http://nagarigauang.blogspot.com/2012/02/alam-nagari-gauang.html

TOUR DE SINGKARAK 2013

TOUR DE SINGKARAK 2013

 

Tour de Singkarak 2013 akan diselenggarakan selama tujuh hari mulai dari tanggal 3 sampai 9 Juni 2013. Edisi kelima Tour de Singkarak ini akan melibatkan 9 kabupaten dan 7 kota di Sumatera Barat dengan 

menempuh jarak sepanjang 1.000 kilometer. 14 kabupaten dan kota yang terlibat dalam Tour de Singkarak edisi sebelumnya akan kembali dilintasi pada edisi kali ini ditambah dengan dua kabupaten lagi yang akan 

melalui proses survei terlebih dahulu. Etape pertama akan diadakan pada 3 Juni 2013 dengan mengambil lokasi start di depan taman Jam Gadang dan etape terakhir akan dilangsungkan sepenuhnya di Padang.

Pembukaan Tour de Singkarak 2013 dijadwalkan akan dilaksanakan di Bukittinggi pada 1 Juni 2013. Hal ini dilakukan agar para peserta mempunyai waktu luang selama satu hari untuk menikmati keindahan alam Sumatera Barat sebelum bertanding.

 http://id.wikipedia.org
http://www.tourdesingkarak.com

JoEYUNG. Diberdayakan oleh Blogger.

map solok

map solok